Wednesday, December 02, 2015
Bahagia ?
Wednesday, December 02, 2015Dari dulu aku pikir, bahagia itu sederhana. Nyatanya, bahagia tak pernah sesederhana yang kubayangkan. Arti dan alasan bahagia sel...
Dari dulu aku pikir, bahagia itu sederhana. Nyatanya, bahagia tak pernah sesederhana yang kubayangkan. Arti dan alasan bahagia selalu berubah dari waktu ke waktu. Selalu berubah menurut lingkungan dan suasana hati seseorang.
Bahagia nyatanya bukan hanya tentang seseorang, tapi tentang dia dan lingkungannya. Tentang bagaimana lingkungannya menuntun dia untuk memaknai arti bahagia yang kelak dipercayainya.
Ada yang bilang, bahagia itu kalau melihat orang yang berarti bagi hidup kita bahagia. Kenyataannya ? Ketika mereka bahagia bukan karena kita, mereka bahagia bukan bersama kita, benarkah kita turut bahagia ? Nyatakah bahagia yang kita rasa ? Aku pikir, kebahagiaan dengan alasan itu hanya semu belaka. Bukan bahagia namanya kalau menahan luka. Bukan bahagia namanya jika perih terasa.
Bukan pula bahagia jika bisa memiliki yang diharap namun yang diharap tak pernah ingin bersama kita. Buat apa bersama orang yang tak pernah berpikir untuk dekat dengan kita ? Kebahagiaan karena hal seperti itu pun rasanya hanya ilusi belaka. Hanya kebahagiaan semua yang kita ciptakan dalam ilusi milik kita sendiri. Kebahagiaan yang tak akan bisa dirasakan auranya oleh orang lain.
Ya, aku mungkin pernah bahagia. Tapi itu tampaknya dulu, saat hidup terasa lebih mudah kujalani. Saat airmata menetes tak meninggalkan sesak di dada. Saat senyum tulus masih dengan mudah tergambar.
Dulu, aku sempat berpikir bahagia itu kalau aku bisa memiliki keluarga dengan sepasang anak perempuan dan lelaki, rumah esar nan minimalis, 2 buah mobil untukku dan suami, serta mampu mencukupi kebutuhan anak-anakku kelak.
Seiring waktu aku berpikir. Menjalani hariku bersama dengan seseorang menyadarkanku bahwa aku tak akan bisa mencapai bahagia yang kuharapkan begitu saja. Tak bisa jika hanya aku yang mendambanya, sedangkan pasanganku bahkan mungkin tak pernah memikirkannya. Perlahan, semua sirna.
Aku mulai mencari kembali makna bahagia. Aku mencari, bagaimana cara bahagia. Lalu terpikir, mungkin bahagia itu jika aku bisa dengan cepat mendapat gelar sarjanaku, bekerja di perusahaan ternama, menghasilkan banyak rupiah. Kurasa itu akan membuat keluargaku bangga. Kurasa bahagia itu jika bisa jadi yang dibanggakan oleh mereka.
Waktu terus berjalan. Mendesakku ke titik kerapuhanku. Mendorongku ke pusat terlemahku. Aku jatuh. Aku tak lagi tau apa itu bahagia. Aku hanya ingin menyerah. Aku menjadi seperti daun gugur yang melepaskan nasibnya pada angin, membiarkan sang angin membawanya kemana pun. Tanpa arah. Tanpa tau tujuannya kelak.
Lalu, dia muncul bagai mentari pagi hari yang sirnakan kegelapan malam. Dia debarkan hatiku lagi. Dia berikan semangat baru. Aku berusaha jadi yang terbaik baginya. Tapi, lagi-lagi semua hanya terasa semu. Untuk siapa semua ini kulakukan ? Bukan untuk bahagiaku. Tampaknya aku hanya belajar bahagia dengan mencoba keras membuat semuanya bahagia. Aku memaksa diriku untuk bahagia. Pantaskah disebut bahagia jika masih menggores luka ? Hal itu membuatku berpikir kembali.
Ya, waktu tak pernah berhenti. Aku semakin merapuh. Aku semakin terjebak dalam kebimbangan yang kuciptakan sendiri. Kilasan masalalu yang menyesakkan berhamburan dalam pikiranku. Memaksa butiran embunku berulang kali melukiskan jejaknya. Aku lalu terjebak dalam ruang kelabuku. Aku terdiam, tak mengerti lagi apa yang seharusnya kulakukan. Aku tak ingin menangis. Semua terasa terlalu menyesakkan hingga airmataku pun tak rela menetes.
Titik terang itu datang. Kebranianku muncul. Aku akhirnya memilih. Namun, pilihanku tampaknya bukan yang terbaik di mata mereka. Aku ingin mengalah. Tak inginku paksakan ego ini. Namun kilasan luka masalaluku menyeruak di sela airmata keputus asaanku. Haruskah aku menyrah lagi untuk mimpiku ? Haruskah aku melepas lagi anganku ? Haruskah kubiarkan diri ini mengikuti ingin mereka ? Haruskah kuutamakan bahagia milik mereka ? Haruskah kurelakan hasratku kembali terabaikan ?
Aku muak. Aku muak mendengar semua celoteh mereka tentang masa depan. Apakah jika kulakukan ingin mereka lalu masadepanku menjanjikan ? Akankah aku pasti bahagia ?
Aku lelah. Aku lelah terus menerus dipaksa melakukan hal yang bahkan tak kuharapkan muncul dalam rencana masadepanku. Tidak bisakah kali ini saja biarkanku tentukan sendiri jalanku ?
Aku iri. Aku iri melihat mereka yang selalu memiliki banyak pilihan, yang selalu bebas menentukan jalan mereka sendiri. Lalu aku ? Aku selalu berhadapan dengan 2 pilihan. Terkadang bahkan tak satu pun dari pilihan itu kuharapkan.
Kini, bahagiaku menjadi semakin rumit. Rasanya hal yang kupikir akan membuatku bahagia, akan membutuhkan pengorbanan besar. Tampaknya aku harus rela mengorbankan segalanya yang kumiliki. Tampaknya aku harus melukai banyak orang.
Perjalananku untuk mencapai kebahagiaanku pun ku mulai. Telah kulakukan, aku melukai banyak orang. Bahkan aku pun membiarkan diriku terluka. Ya, aku egois ! Teramat egois ! Bahkan untuk bahagia pun aku harus melukai diriku sendiri. Aku harus mematikan rasa di hatiku sendiri. Setidaknya, aku harus pura-pura tak merasakan luka.
Aku mengabaikan mereka. Aku menutup mata dan telingaku untuk mereka. Aku seakan hidup untuk diriku sendiri. Tanpa mereka sadari, aku sebenarnya terluka lebih dari mereka. Mungkin tak pernah terbayangkan oleh mereka, aku selalu lebih terluka ketika melihat mereka terluka. Terlebih jika luka itu karena aku.
Tapi egoku telah mencapai puncaknya. Aku ingin BAHAGIA ! Aku merasa harus bahagia. Tapi bahagiaku terlalu sulit kumiliki. Bahagia itu kini bagiku jika aku bisa bersama dia yang mampu membuatku melupakan lukaku. Aku ingin bersama dia yang walaupun terus melukaiku tapi lalu esoknya membuatku lupa bahwa aku sedang terluka. Aku ingin bersama dia yang membuatku merasa bahwa hidup yang sulit ini bisa dilewati dengan lebih mudah. Aku ingin bersama dia yang mampu membuatku melepas semua topeng keperkasaanku. Aku ingin bersama dia, yang hanya di depannya, aku mampu tunjukkan semua lukaku.
Aku tak berharap lagi memiliki seseorang yang mampu membahagiakanku. Cukup seseorang yang mampu membuatku menunjukkan sisi lemahku. Aku tak berharap lagi memiliki seseorang yang akan melindungiku. Cukup seseorang yang mampu membuatku merasa harus bisa menjadi kuat untuk pantas bersamanya. Aku tak berharap lagi rumah besar, rupiah melimpah, ataupun mobil mewah. Aku hanya ingin bersamanya sekalipun dalam kesulitan. Jika takdir membawa kami pada keberuntunga, izinkan kami meraih keberuntungan itu bersama.
Ku pikir ulang lagi semua. Lalu aku kembali tersadar. Bahagia itu memang seharusnya sederhana. Aku hanya ingin bisa hidup dengan melupakan lukaku. Dan hingga saat ini, selama 20 tahun hidupku, hanya bersamanya aku bisa melepas semuanya. Hanya bersamanya, aku bisa tunjukkan diriku yang sebenarnya.
2 Februari 2014
17.56
****
Untuk mereka yang telah meninggalkan dan kutinggalkan.
Untuk mereka yang berpikir tau, namun nyatanya tak memahami hatiku.
Untuk mereka yang memilih pergi dan yang terpaksa bertahan dalam dunia kelabuku.
Untuk kamu, pria yang memilih untuk tak menjadi apapun lagi dalam hidupku, pria yang terluka karena aku namun juga menyakitiku.
Dan kamu, lelakiku yang masih saja betah disisiku hingga saat ini.